Pengertian dan Tujuan Epigraf

Diposting pada

Pengertian Epigraf

Pengertian Epigraf

Epigrafi (dari bahasa bahasa Yunani: ???????? epi-graph?, berarti “tulisan”, “prasasti” adalah suatu cabang arkeologi yang berusaha meneliti benda-benda bertulis yang berasal dari masa lampau. Salah satu contohnya adalah prasasti. Prasasti merupakan sumber bukti tertulis (berupa tulisan ataupun gambar) pada masa lampau yang dapat memberikan informasi mengenai peristiwa dimasa lampau, asal usul seorang raja atau tokoh atau genealogi maupun penanggalan. Orang yang pertama kali menaruh perhatian pada prasasti adalah Raffles sebagaimana dalam bukunya The History of Java tahun 1817. Penelitian mengenai prasasti berkembang sekitar tahun 1850-an. Pengetahuan linguistik sangat diperlukan untuk memahami bahasa kuno.

Pengertian epigrafi adalah ilmu yang mempelajari tentang berbagai benda-benda tertulis pada masa lampau sebagai bagian dari peninggalan sejarah. Salah satu contohnya adalah bangunan kuno. nisan, artefak-artefak. dan prasasti. Epigrafi merupakan cabang dari ilmu arkeologi. Ilmu epigrafi cakupannya sangatlah luas. tidak hanya pada aksara dan tulisan kuno saja. melainkan juga membahas hubungan antara prasasti dan raja yang ada pada masa itu. Dalam ilmu epigrafi. prasasti adalah kajian utamanya.

Karena itu ada yang menyamaakan epigrafi dengan paleografi (ilmu tentang tulisan kuno). Tidak mengherankan jika epigrafi sering dihubungkan dengan tulisan-tulisan pada prasasti. Memang penelitian terhadap prasasti sangat penting bagi studi seejarah Indonesia kuno, sejak zamannya Krom hingga saat ini tidak kurang dari 50% sebagai hasil rekonstruksi sejarah Indonesia berdasarkan penelitian prasasti. Akan tetapi juga tidak semua prasasti dapat dimanfaatkan untuk keperluan itu.

Dibalik itu juga perlu diketahui bahwa betapapun urgensinya prasasti sebagai sejarah, tidak berarti prasasti merekam semua peristiwa pada zamaannya. Prasasti hanya merekam beberapa aspek tertentu seperti soal-soal sosial, politik, dan agama. Kehidupan masyarakat pada umumnya seperti ekonomi, budaya, seni, dan lain-lain jarang atau sedikit sekali disinggung dalaam prasasti. Karena bila ingin mengetahui gambaran sejarah secara menyeluruh masih diperlukan sumber lain misalnya karya-karya sastra, peninggalan purbakala, berita-berita asing dan lainnya. Pitono dalam hal ini menyarankan agar bisa mencapai pengetahuan sejarah yang bulat dan obyektif metode yang terbaik dalam metode komparatif. Sejarah lainnya Sarono Kartodirjo, peelopor sejarawan sosial Indonesia menyarankan agar sejarawan dalam berusaha mendapatkan pemahaman sejarah secara utuh menerapkan pendekatan yang dinaamakannya pendekatan multi diomensional (multi dimention approach), atau social scientific approach. Yang diimaksud ini ialah untuk mencapai kebenaran sejarah yang objektif, serta menyeluruh sejaarawan harus menganalisanya dengan berbagai pendekatan Ilmu sosiial atau dimensi ilmu sosial secara terkait.

Tujuan dari Epigraf

Epigrafi bertujuan agar prasasti yang ditemukan dalam ekskavasi dapat dibaca. Selanjutnya, tujuan epigrafi ini tidak dapat dilepaskan dengan tujuan arkeologi. Tujuan arkeologi adalah merekonstruksi sejarah masa lampau berdasarkan apa yang dapat ditemukan kembali dengan ketrampilan dan penguasaan metode ekskavasi pada benda-benda masa lampau. Jika benda tinggalan tersebut berupa prasasti maka ahli epigrafi akan mengelolanya agar dapat diketahui kapan terjadinya, siapa tokoh pemerintahannya serta apa isi yang terkandung pada prasasti tersebut.

Tujuan utama epigrafi merupakan pembacaan tulisan kuna tanpa kesalahan. Hal ini sangat ditekankan karena tulisan-tulisan kuna ini memaang sukar di baca oleh nermagai sebab. Sebab-sebab itu antaranya antara lain ialah :

  1. Huruf-hurufnya rusak karena bahan prasastinya aus akibat usia ataupun karena tangan-tangan usil yang tak bertanggung jawab,
  2. Tiap-tiap periode bentuk hurufnya mengalami perkeembangan,
  3. Huruf memang sendiri sudah tidak terpakai lagi. Lain pada itu epigrafi juga bertugas menentukan kesalaahan-kesalahan yang menyelinap dalam teks kemudian membersihkannya. Belum lagi jika prasasti itu sebagai prasasti turunan (tinulad) yang tidak jarang menimbulkan kesulitan kaarena penyalinannya tidak cermat baik dalam aksara maupun dalam bahasa. Ilmuwan yang pertama kali mengangkat epigrafi sebagai ilmu bantu sejarah adalah Ludwig Troube. Di Eropa tulisan epigrafi memusatkan perhatiannya pada naaskah atau teks-teks manuskrip Yunani dan piagam-piagam dari zaman pertengahan.

Tugas seorang Epigraf

Ahli epigrafi, yang disebut juga dengan epigraf, mempunyai kemampuan menganalisis prasasti dengan kemampuannya untuk membaca tulisan kuno, baik berupa huruf kuno maupun bahasa kuno. Tugas seorang epigraf tidak saja meneliti prasasti-prasasti yang belum di publikasikan melainkan juga meneliti kembali prasasti yang telah terbit dalam transkripsi sementara. Kemudian ahli epigrafi tersebut harus menterjemahkan prasasti itu ke dalam bahasa yang digunakan saat ini sehingga para peneliti lain, khususnya ahli-ahli sejarah dapat menggunakan berbagai macam keterangan yang terkandung di dalam prasasti-prasasti itu.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, ahli epigrafi banyak menjumpai berbagai macam hambatan. Menurut arkeolog Indonesia yang menekuni bidang epigrafi yaitu Drs.Hasan Djafar, masalah yang pertama adalah karena banyak prasasti terutama prasasti batu, yang sudah berada dalam keadaan usang sehingga sulit untuk membacanya. Epigraf harus membaca bagian-bagian yang usang tersebut berkali-kali hingga mendapatkan pembacaan yang memuaskan. Dengan menguasai bentuk huruf kuno dengan segala lekuk likunya, dan dengan senantiasa membanding-bandingkan huruf-hurufnya yang usang itu dengan huruf-huruf yang masih jelas, seorang ahli epigrafi berusaha untuk memperoleh pembacaan yang selengkap-lengkapnya. Kedua, dihadapkan pada waktu menterjemahkan prasasti-prasasti itu. Pengetahuan mengenai bahasa-bahasa kuno yang digunakan dalam prasasti masih belum cukup untuk memahami sepenuhnya makna yang terkandung di dalam naskah-naskah itu.

Ahli epigrafi bak detektif yang mencari tahu mengenai kehidupan maupun peristiwa masa lampau melalui kode-kode rahasia berupa huruf maupun gambar melalui kemampuannya dalam menganalisis. Sehingga masyarakat, khususnya ahli sejarah dan arkeologi, mendapatkan informasi sejarah yang jelas dan valid. Seorang ahli epigrafi dibutuhkan dalam memecahkan sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh masyarakat masa lampau agar dapat dimengerti oleh masyarakat saat ini.

Perintis Epigrafi Indonesia

  1. Sir Thomas Stamford Bingley Rafles: Ia telah mengumpulkan beberapa prasasti dan mencoba untuk menerjemahkannya dengan bantuan beberapa pihak, misalnya Panembahan Sumene dan beberapa orang Bali. Melalui Raffles, penelitian epigrafi mulai terbuka lebar di Indonesia. Ia adalah yang mengirimkan prasasti Pucangan ke Calcutta ketika prasasti ini ditemukan pada masa ia memerintah di Indonesia.
  2. C.J. van der Vlis: Ia meneliti beberapa prasasti di kompleks percandian Sukuh dan Ceto. Ia dibantu oleh R.Ng. Ronggowarsito dalam penelitian ini.
  3. R.H. Theodore Friederich: Ia merupakan peletak dasar bagi sistematika penelitian epigrafi. Sistematika yang diberikan oleh Friederich ini kelak digunakan oleh para epigraf berikutnya, misalnya Kern dan Cohen.
  4. Johan Hendrik Caspar Kern: Ia meneliti huruf Kawi dan membandingkannya dengan huruf-huruf yang ada di Indonesia. Ia menyimpulkan, bahwa huruf Jawa, Sunda, Madura dan Bali adalah perkembangan yang langsung dari huruf Kawi.
  5. Karel Frederik Holle: usaha besar yang dilakukan K.F.Holle adalah menyusun suatu daftar abjad/huruf-huruf yang terdapat di Indonesia sebagai suatu pengantar kearah Palaeografi Indonesia. Dalam daftarnya itu ia mengerjakan huruf-huruf yang terdapat pada prasasti-prasasti, huruf-huruf yang masih dipakai di daerah-daerah Indonesia, serta mencoba mencari bentuk asal daripada huruf-huruf itu dalam beberapa abjad yang ada di India. Ia menggolongkan berdasarkan bentuk-bentuk huruf. Dasar pengelompokkan yang digunakan Holle tidak jauh berbeda dengan Kern. Kelompok pertama Kern (Kawi-Kamboja-Pali) oleh Holle disebut corak Kamboja, kelompok kedua Kern (Wenggi-Cera) oleh Holle disebut corak Calukya atau Wenggi, kecuali itu masih ada satu corak lagi, yaitu corak Nagari.
  6. A. B. Cohen Stuart: awalnya ia melakukan penelitian terhadap naskah-naskah susastra Kawi dan menuliskan hasil penelitiannya itu, kemudian barulah ia tertarik pada prasasti. Bersama J.J.van Limburg Brouwer ia mulai meneliti empat prasasti, yaitu prasasti Wukiran (Pereng), Kandangan, Wayuku (Dieng) dan Kinewu. Keempat prasasti ini diterbitkan hanya dalam bentuk pengantar tafsiran kata-kata tanpa terjemahan isi prasasti. Usaha yang dilakukannya yaitu perbaikan terhadap penerbitan prasasti yang telah ada, pendaftaran kembali prasasti yang pernah ditemukan berserta daftar acuan kertasnya, usul untuk menerbitkan prasasti-prasasti secara lengkap dan menyeluruh unttuk kepentingan yang lebih saksama. Akhirnya, ia menerbitkan buku yang berisi kumpulan prasasti-prasasti dalam bentuk facsimile dan transkripsi.
  7. Jan Laurens Andries Brandes: Hasil penelitian epigrafinya yang pertama adalah prasasti Kalasan dan prasasti Guntur. Dari kedua prasasti tersebut ia mengambil kesimpulan bahwa ketika orang-orang India tersebut datang ke Indonesia, mereka menemukan suatu masyarakat yang telah memiliki kebudayaan yang tinggi dan juga susunan pemerintahan yang berlandaskan hukum sudah mulai teratur di Indonesia, proses hukum dan pengambilan keputusan seperti itu tidak ada di India.
  8. N.J. Krom: usaha awal yang dilakukan Krom dalam bidang epigrafi adalah meneliti kembali penerbitan-penerbitan prasasti yang pernah ada, meneruskan atau mengolah kembali pekerjaan Brandes yang belum selesai dan membuat inventarisasi prasasti-prasasti yang berangka tahun yang pernah ditemukan.
  9. F.D.K. Bosh: penelitiannya terhadap prasasti-prasasti yaitu Kelurak, Kalasan, dan Ratuboko ditujukan untuk mencari gambaran kebudayaan yang menjadi latar belakang segala aktivitas kesenian pada waktu tersebut khususnya gambaran kehidupan keagamaan.
  10. W.F. Stutterheim: konsep pemikiran yang dikeluarkannya ialah kebudayaan Indonesia kuno harus dianggap sebagai kebudayaan Indonesia, sedangkan pengaruh India yang betapa pun besarnya hanyalah merupakan tambahan saja.
  11. R.M.Ng. Poerbatjaraka: pengetahuan yang dimiliki Poerbatjaraka atas bahasa Kawi yang menuntunnya berkenalan dengan prasasti. Karya yang dihasilkan berupa transkripsi prasasti Kamban dan sebuah prasasti yang berasal dari desa Pengging, Boyolali, kupasan mengenai prasasti yang ditemukan di desa Batutulis dekat Bogor, pembahasan mengenai prasasti yang dipahatkan pada arca Aksobhya di Simpang dan transkripsi prasasti yang disimpan di Museum Solo. Dalam disertasinya juga berisi penelitian terhadap prasasti Canggal, Dinaya, Wukiran (Pereng), salah satu prasasti raja Mulawarman dari Kutai dan prasasti Pintang Mas.
  12. P.V. van Stein Callenfels: ia berjasa dalam membuka jalan pengetahuan mengenai prasasti-prasasti Bali, yang sebelumnya juga pernah dibicarakan oleh van der Tuuk dan Brandes.
  13. Rudolf Goris: penelitiannya khusus pada epigrafi Bali dan mencurahkan perhatian pada prasasti yang berbahasa Bali kuno.
  14. Johannes Gijsbertus (Hans) de Casparis: Ia menekankan pentingnya meneliti bagian-bagian dalam prasasti yang dapat memberikan gambaran kehidupan masyarakat Indonesia kuno. Hasil penelitian pertama adalah prasasti yang berasal dari zaman Majapahit, mengenai desa-desa Himad dan Walandit. Hasil penelitian yang patut dibanggakan adalah seri penerbitan Prasasti Indonesia yang terdiri atas dua jilid. Jilid pertama mengenai persoalan rajakula Sailendra, sedangkan jiid kedua merupakan kumpulan prasasti-prasasti yang berasal dari abad VII sampai abad IX M. Jilid pertama, ia mengupas secara mendalam prasasti Hampran (Plumpungan), prasasti Ratabaka, prasasti Kayumwungan (Karangtengah), prasasti Gondosuli II dan dua buah prasasti Tri Tepusan yang menyebutkan nama Sri Kahulunan. Kesemuanya itu digunakannya untuk menyusun kembali tiga hal: sejarah rajakula Sailendra secara menyeluruh, pertumbuhan agama Budha pada zaman pemerintahan rajakula Sailendra dan melokalisasikan bangunan-bangunan suci yang disebutkan dalam prasasti-prasasti itu. Hasil lain yang membanggakan adalah penelitian yang khusus mengenai masyarakat Indonesia kuno dan tentang masa pemerintahan raja Airlangga.
  15. Louis Charles Damais: Sumbangan Damais yang terpenting bagi epigrafi Indonesia adalah metodenya untuk menentukan perhitungan yang tepat mengenai unsur-unsur hari, tanggal, bulan dan tahun dalam tarikh Indonesia kuno yang biasa ditemukan dalam prasasti-prasasti ataupun naskah-naskah lainnya.
  16. Boechari: Ia adalah murid R.M. Ng. Poerbatjaraka. Sumbangan yang terutama tertuang dalam hasil studi epigrafinya berupa kumpulan transliterasi prasasti-prasasti dan tulisan-tulisan yang membahas mengenai berbagai aspek arkeologi dan kesejarahan, khususnya mengenai sistem administrasi dan birokrasi kerajaan, sistem hukum, dan sistem perpajakan pada masa Jawa Kuno.