Sejarah Masjid Al-aqsa

Diposting pada

Sejarah-Masjid-Al-aqsa

Masjid Al-Aqsha

Masjid Al Aqsha, juga disebut dengan Baitul Maqdis atau Bait Suci, Al Haram Asy Syarif, Bukit Bait, adalah nama sebuah kompleks seluas 144.000 meter persegi yang berada di Kota Lama Yerusalem. Kompleks ini menjadi tempat yang disucikan oleh umat Islam, Yahudi, dan Kristen. Masjid Al-Aqsa secara luas yaitu dianggap sebagai tempat suci ketiga oleh umat Islam. umat  muslim percaya bahwa nabi Muhammad diangkat ke Sidratul Muntaha dari tempat ini setelah sebelumnya dibawa dari Masjid Al-Haram di Mekkah ke Al-Aqsa dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Kitab-kitab dan hadist menjelaskan bahwa nabi Muhammad mengajarkan umat Islam berkiblat ke arah Masjid Al-Aqsa yaitu (Baitul Maqdis) hingga 17 bulan setelah hijrah ke Madinah. Setelah itu kiblat salat ialah Ka’bah di dalam Masjidil Haram, Mekkah, hingga sekarang ini. Pengertian Masjid Al-Aqsa pada peristiwa Isra’ Mi’raj dalam Al-Qur’an ialah Surah Al-Isra’ ayat 1 meliputi seluruh kawasan Al-Haram Asy-Syarif.


Masjid Al-Aqsa pada awalnya hanyalah tugu batu yang didirikan oleh nabi Yakub, lalu diteruskan pembangunan oleh Nabi Sulaiman.  ketika gempa bumi di tahun 746, masjid ini hancur seluruhnya dan dibangun kembali oleh khalifah Abbasiyah Al-Mansur pada tahun 754, lalu dikembangkan lagi oleh penggantinya Al-Mahdi di tahun 780. Gempa berikutnya menghancurkan sebahagian besar Al-Aqsa pada tahun 1033, akan tetapi dua tahun kemudian khalifah Fatimiyyah Ali Azh-Zhahir membangun kembali masjid ini yang masih tetap berdiri hingga saat ini. Dalam berbagai renovasi berkala yang dilakukan, berbagai dinasti kekhalifahan Islam sedah melakukan penambahan terhadap masjid dan kawasan sekitarnya, antara lain ialah pada bagian kubah, fasad, menara, mimbar, dan interior bangunan. saat Tentara Salib menaklukkan Yerusalem pada tahun 1099, mereka menggunakan masjid ini sebagai istana dan gereja, akan tetapi fungsi masjid dikembalikan seperti semula ketika setelah Shalahuddin merebut kembali kota itu. Renovasi maupun perbaikan dan penambahan lebih lanjut dilakukan pada abad-abad kemudian oleh para penguasa Ayyubiyah, Mamluk, Majelis Tinggi Islam, Utsmaniyah, dan Yordania. Pada Saat ini, Kota Lama Yerusalem berada di bawah pengawasan Israel, akan tetapi masjid ini tetap berada di bawah perwalian lembaga wakaf Islam pimpinan orang Palestina.


Peristiwa Pembakaran Masjid Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969 telah mendorong berdirinya Organisasi Konferensi Islam yang saat ini sudah beranggotakan 57 negara. Pembakaran tersebut juga menyebabkan mimbar kuno Shalahuddin Al-Ayyubi rusak terbakar habis. Dinasti Bani Hasyim penguasa Kerajaan Yordania telah menggantinya dengan mimbar baru yang dikerjakan di Yordania, meskipun ada juga yang menyatakan bahwa mimbar buatan Jepara digunakan di masjid ini.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sejarah dan Biografi Singkat Abu Bakar As-Siddiq Khalifa Khulafaur Rasyidin yang Pertama (Lengkap)


Sejarah Masjid al-Aqsha

Area masjid ini dahulu merupakan bagian perluasan pembangunan bukit oleh Raja Herodes Agung, yang dimulai sejak tahun 20 SM. Herodes memerintahkan kepada tukang batu untuk memotong permukaan batu di sisi timur dan juga selatan bukit, dan melapisinya. Sisa-sisa pembangunan tersebut saat ini masih bisa ditemukan di beberapa lokasi. Ketika Bait Kedua masih berdiri, situs tempat masjid saat ini berdiri disebut juga dengan nama Serambi Salomo, dan pada tiap sisinya terdapat gudang kuil yang dinamakan dengan chanuyot, yang memanjang sampai ke sisi selatan bukit.

Konstruksi tiang-tiang kolom besar yang persegi di bagian utara masjid serta tembok-temboknya, baru-baru ini ditetapkan mempunyai usia jauh lebih tua dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya oleh para peneliti terdahulu (berdasarkan tulisan para saksi mata dari masa itu), ialah  bahwa konstruksi tersebut berasal dari masa kekuasaan Romawi. Tembok-tembok tersebut dibangun kembali atau diperkuat tidak lama setelah penghancuran Yerusalem pada di dahun 70 Masehi.

Struktur bawah tanah bangunan ini berasal dari masa kembalinya orang Yahudi dari pembuangan Babilonia mereka, yaitu pada tahun 2.300 tahun yang lalu. Situasi politik telah menyebabkan penggalian lebih lanjut di sekitar area tersebut tidak memungkinkan. Pada saat gempa bumi di tahun 1930-an merusak masjid ini, penanggalan atas beberapa bagian yang terbuat dari kayu telah sempat dilakukan, yang menunjukkan kurun 900 SM.

Kayu-kayu tersebut ialah cypress (sejenis cemara) dan juga akasia. Jenis yang disebut terakhir menurut Alkitab digunakan oleh Raja Salomo dalam konstruksi bangunan-bangunannya di bukit tersebut di tahun 900 SM. Bersama dengan Bait Suci, chanuyot yang ada ikut hancur oleh serangan Kaisar Romawi Titus (yang saat itu masih jenderal) pada tahun 70. Kaisar Yustinianus membangun bangunan gereja Kristen di situs ini pada tahun 530-an, yang dipersembahkan bagi Perawan Maria dan dinamakan dengan “Gereja Bunda Kita”. Gereja ini belakangan dihancurkan oleh Kaisar Sassania Khosrau II diabad awal abad ke-7, hingga tersisa sebagai reruntuhan saja.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Nuzulul Qur’an, Tahap – Tahap Turunnya Al Qur’an


Asal Usul Masjid al-Aqsha

Ibnu Khaldun menyajikan dengan sangat menarik sejarah Bait al-Maqdis dari masa ke masa dalam kitabnya yang terkenal, al-Muqaddimah. Sejarah Bait al-Maqdis ini diulas dalam bab yang berjudul Faslun fi al-Masjid wa al-Buyut al-Adhimah fil Alam:

Bait al-Maqdis atau yang sering disebut sebagai Masjid al-Aqsha pada awalnya di masa kaum Sabean adalah kuil Zahrah (Dewi Venus). Kaum Sabean menggunakan minyak sebagai sajian pengorbanan yang dipercikkan dan disiram pada karang yang ada di kuil tersebut. Kuil pemujaaan Dewi Venus ini pada tahap selanjutnya mengalami kerusakan. Dan ketika Bani Israil berhasil menguasai Yerusalem, mereka menggunakan karang bekas pemujaan di kuil Zahrah tersebut sebagai kiblat untuk peribadatan mereka.” “


Dalam kutipan ini, paling tidak Ibnu Khaldun menginformasikan kepada kita mengenai dua hal penting asal-usul Bait al-Maqdis. Pertama, Bait al-Maqdis atau yang sekarang disebut juga sebagai Masjid al-Aqsha di awal kesejarahannya ialah kuil yang didirikan oleh kaum Sabean untuk menyembah Dewi Venus. Di dalam kuil ini terdapat Karang yang sering dipercikkan dan disiram minyak oleh kaum Sabean.

Karang inilah yang pada tahap selanjutnya pernah dijadikan oleh Nabi sebagai starting-point untuk melanjutkan perjalanannya ke langit sampai ke Sidrat al-Muntaha. Kedua, melalui keterangan ini kita dapat mengetahui bahwa Bait al-Maqdis tidak lain hanyalah tempat penyembahan bintang-bintang oleh kaum Sabean yang dialifungsikan menjadi kiblat sembahyangnya orang-orang Yahudi pasca kemenangan mereka melawan bangsa Filistin.


Pertanyaan yang muncul kemudian ialah di mana sebenarnya kiblat yang pernah dijadikan Bani Israel sebagai arah sembahyang mereka sebelum akhirnya karang bekas tempat penyembahan Dewi Venus oleh kaum Sabean ini dijadikan sebagai kiblat baru? Ibnu Khaldun menapaki jejak-jejak kesejarahan kiblat Yahudi sebelum Bait al-Maqdis ini secara menarik dalam kitab al-Muqaddimah:

Adapun kronologi dijadikannya karang bekas penyembahan berhala tersebut sebagai kiblat dapat diterangkan sebagai berikut: Nabi Musa memimpin Bani Israil keluar dari Mesir untuk menghadiahkan kepada mereka Yerusalem yang telah dijanjikan Allah kepada moyang mereka, Nabi Ya’qub dan kepada ayahnya, Nabi Ishak, di masa-masa sebelumnya. Ketika Bani Israil mengembara di gurun, Allah memerintahkan mereka membuat kubah dari kayu Akasia yang ukuran, gambaran, efigi dan patung-patungnya ditetapkan berdasarkan wahyu ilahi. ”


Kita melihat dalam kutipan di atas, bahwa Tuhan memerintahkan untuk membuat kubah dari kayu Akasia. Menariknya, pembuatan patung-patung dilakukan berdasarkan kepada wahyu. Sampai di sini kita melihat bahwa dalam ajaran Taurat, pembuatan patung itu bahkan diperbolehkan. Tidak seperti Islam yang melarang segenap hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada kesyirikan termasuk patung. Semangat Islam awal-awal dalam memberantas patung ialah karena unsur sakralisasi.


Kelak kubah yang ada patung-patungnya ini dijadikan sebagai kiblat sembahyangnya orang-orang Yahudi selama mereka berkelana di gurun pasir. Kendati demikian, tidak hanya patung yang diletakkan di dalam kubah tersebut, melainkan juga Tabut, meja, piring, tampat api dan lampu-lampunya. Hal demikian seperti yang dijelaskan Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah:

Lalu ditempatkanlah di dalam kubah itu Tabut, meja dengan piring-piringnya dan tempat api dengan lampu-lampunya dan dibuatkan pula altar tempat berkorban, yang semuanya digambarkan secara lengkap dalam Taurat. Ketika Kubah telah dibuat, lalu di situlah diletakkan Tabut Perjanjian (Tabut al-Ahd). Disebut Tabut Perjanjian karena di dalamnya terdapat lembaran batu yang dibuat sebagai ganti untuk lembaran batu yang diturunkan kepada Musa dengan Sepuluh Perintah yang telah rusak dan pecah berantakan. Lalu sebuah altar pun dibangun di sebelahnya. Allah membuat janji kepada Musa bahwa Harun adalah penanggung jawab upacara pengorbanan itu.”


Pada kutipan di atas kita melihat adanya Tabut Perjanjian sebagai ganti bagi Tabut yang sudah rusak dan pecah. Tabut ini sebelumnya berisi lembaran-lembaran batu yang di dalamnya terukir Sepuluh Perintah. Namun Tabut ini  telah rusak sehingga perlu dibuatkan Tabut lagi yang kelak disebut sebagai Tabut al-Ahd atau Tabut Perjanjian.


Ketika Bani Israil masih mengembara dalam gurun, kubah yang berisi patung dan Tabut Perjanjian tersebut dijadikan mereka sebagai kiblat sembahnyang, tempat pengorbanan dan tempat pengajaran wahyu. Kiblat yang berupa kubah ini diletakkan di tengah-tengah kemah mereka. Ketika negeri Syam ditaklukan, Bani Israel meletakkan Kubah ini di wilayah Gilgal. Hal demikian seperti yang dapat kita lihat dalam penjelasan Ibnu Khaldun:

Bani Israil mendirikan kubah itu di tengah perkemahan mereka di gurun, bersembahyang dengan menghadap ke arahnya, melakukan pengorbanan di altar di depannya, dan pergi ke sana untuk mendapat ajaran wahyu. Ketika berhasil menguasai Syria, Bani Israil menempatkan kubah tersebut di Gilgal dalam kawasan Tanah Suci (al-ard al-muqaddassah) antara wilayah Benjamin dan Ephraim. Kubah tersebut tetap berada di sana selama empat belas tahun, tujuh tahun selama perang dan tujuh tahun selama pembagian negeri.

Keterangan berikutnya dapat diperjelas lagi dalam kutipan dari kitab al-Muqaddimah karya Ibnu Khaldun berikut ini:

Setelah Nabi Yoshua meninggal, Bani Israil memindahkan kubah itu ke Syilu dekat Gilgal, dan mereka dirikan tembok di sekelilingnya. Kubah itu berdiri di sana selama tiga ratus tahun. Setelah itu, wilayah tersebut dikuasai oleh bangsa Filistin. Bangsa Filistin mengalahkan Bani Israil. Kendati demikian, pada tahap selanjutnya, kubah ini pun kemudian dikembalikan ke Bani Israil. Setelah matinya Eli sang pendeta, kubah ini pun kemudian dipindahkan ke Gibeon di wilayah Benyamin.”


Deskripsi yang begitu padat ini paling tidak memberikan kita keterangan lebih jauh mengenai peralihan kiblat Yahudi dari masa ke masa. Kiblat yang berupa bangunan kubah ini berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dan belum menemu pijakan yang tepat. Karena itu, deskripsi selanjutnya mengenai nasib kiblat Yahudi ini akan kita kemukakan dalam tulisan berikutnya. Kita akan melihat bagaimana perkembangan kiblat ini di masa Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman menurut penuturan Ibnu Khaldun di tulisan selanjutnya tentang Bait al-Maqdis.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Munasabah Al-Quran, Pengertian Munasabah dan Macam-Macam Munasabah


Fakta Tentang Masjid Al-Aqsa

Kiblat Umat Muslim Pertama

Masjid Al-Aqsa menjadi kiblat umat Muslim generasi awal, hingga 17 bulan setelah hijrah sampai kemudian dialihkan ke Kakbah Masjidil Haram. Sedangkan menurut kepercayaan Yahudi, tempat yang sekarang menjadi Masjid Al-Aqsa dipercaya sebagai tempat berdirinya Bait Suci pada masa lalu. Masjid Al-Aqsa juga memiliki kaitan erat dengan para nabi dan tokoh Bani Israel yang juga disucikan dan dihormati dalam ketiga agama.


Masjid Ke-2 di Dunia

Masjid Al-Aqsa merupakan masjid kedua yang dibangun di dunia sebagaimana hadis Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim berkata “Aku bertanya, Wahai Rasulullah, Masjid manakah yang pertama kali dibangun?” Beliau menjawab “Masjidil Haram”. Aku bertanya lagi “Kemudian (Masjid) mana ?” Beliau menjawab, “Kemudian Masjidil Aqsa”. Aku bertanya lagi “Berapa jarak (pembangunan) antar keduanya ?” Beliau menjawab “Empat puluh tahun” (HR Al-Bukhari dan Muslim).


Pesona Masjid

Pesona Masjid Al-Aqsa terletak pada desain arsitektur yang memadukan unsur tradisional dengan sedikit sentuhan modern. Masjid ini memiliki 7 buah lorong yang ditunjang oleh tiang-tiang melengkung bergaya hypostyle nave, serta dilengkapi beberapa ruang kecil tambahan di sisi sebelah barat dan timur.

Terdapat 121 jendela kaca patri dari era Abbasiyah dan Fatimiyah yang berdiri kokoh hingga saat ini. Sebagian besar ruangan Majid Al-Aqsa didominasi marmer berwarna putih dengan balutan karpet merah yang terlihat anggun. Kubah masjid dulunya terbuat dari batu yang dibangun langsung oleh Abdul Malik bin Marwan. Namun sekarang sudah diganti oleh Azh-Zahir dengan desain terbaru yaitu kayu yang disepuh dengan lapisan enamel timah. Interior kubah dicat mengikuti dekorasi khas era abad ke-14.


Tempat Persinggahan Isra Mi’raj

Isra Mi’raj sesuai yang ada di dalam Al-qur’an Surat Al-Isra ayat pertama, merupakan muzijat dari Allah dan peristiwa terbesar dalam sejarah manusia, ketika Rasulullah dipertemukan langsung dengan sang pencipta.

Rasulullah didampingi Malaikat Jibril dengan mengendarai Buraq, berangkat dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa. Di kawasan Al-Aqsa inilah, Buraq itu melintas melalui sebelah dinding barat Masjid Al-Aqsa. Untuk kemudian menuju Sidratul Muntaha, berjumpa dengan Allah Swt.


Tempat Yang Diberkahi

Masjid Al-Aqsa merupakan tempat yang dilebihkan keberkahannya oleh Allah SWT, yang dimaksud dengan diberkahi. Karena kawasan Masjid Al-Aqsa merupakan tempat diutusnya Nabi.

Allah berikan kesuburan tanahnya, sehingga menghasilkan aneka tanaman dan buah-buahan, serta barang tambang yang terkandung di dalamnya. Diberkahi pula mata pencahariannya, makanan pokok, dan hasil pertaniannya. Termasuk banyak tanaman, sungai dan kesuburan yang tiada putus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *