Pengertian dan Prinsip Bank Syariah

Diposting pada

Pengertian-dan-Prinsip-Bank-Syariah

Pengertian Bank dan Syariah

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pengertian bank adalah badan yang mengurus uang, menerima simpanan dan member pinjaman dengan memungut bunga, dan Syariah menurut bahasa (kamus) ialah hukum yang telah ditetapkan oleh Tuhan, berasal dari kata syariat, berarti hukum yang tidak bias diakal-akali oleh manusia sekalipun. Jadi Bank Syariah ialah Bank yang berfungsi sebagaimana fungsinya, namun dengan aturan dan hukum yang telah ditetapkan sesuai Islam.

Pengertian Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, maksudnya adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Bank Syariah Di Indonesia, Pengertian Bank Syariah, Karakteristik Bank Syariah, dan Peran Bank Syarih (Lengkap)


Bank  Syariah Menurut Para Ahli

  • Schaik (2001):
    Bank Islam adalah sebuah bentuk dari bank modern yang didasarkan pada hukum Islam yang sah, dikembangkan pada abad pertama Islam, menggunakan konsep berbagi risiko sebagai metode utama, dan meniadakan keuangan berdasarkan kepastian serta keuntungan yang ditentukan sebelumnya
  • Sudarsono (2004):
    Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu-lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah
  • Muhammad (2002) dalam Donna (2006):
    adalah lembaga keuangan yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu-lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya sesuai dengan prinsip syariat Islam.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan :  Analisi Kelayakan Pembiayaan Bank Syariah, Pengertian Pembiayaan, Tujuan Analisis Pembiayaan


Sejarah Perbankan Syariah

Sejarah Dunia

Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel Islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa dengan Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social Bank didirikian dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat Islam. Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah Islam.

Di belahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis Islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic of Bank (1975), Faisal Islamic of Sudan (1977), Faisal Islamic of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Di Asia-Pasifik, Philipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk memunaikan ibadah haji.


Sejarah Indonesia

Walaupun di Indonesia masyarakatnya mayoritas Islam, namun belum ada Bank yang tercermin pada bank-bank Timur Tengah, bank di Indonesia mayoritas Merupakan bank cerminan barat (Amerika dan Eropa), yang lebih dikenal bank konvensional, dan sebenarnya kajian tentang perbankan syariah sudah muncul sejak tahun 1980-an namun realisasinya berdiri tahun 1991, oleh Bank Muamalat Indonesia. Bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini awalnya Memiliki landasan hukum yang lemah UU No.7 Tahun 1992 belum dijelaskan tentang bank syariah, namun setelah terjadi revisi muncul UU No 10 Tahun 1998 dan dengan revisi UU tersebut maka status bank syariah semakin kuat Bank Muamalat Indonesia juga sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 1990-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah diatur dalam undang-undang yaitu UU No 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1997 tentang Perbankan.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank di antaranya merupakan bank besar seperti Bank Negeri Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). System syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.

Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka perkembangan industry perbankan syariah nasional semakin Memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan asset lebih dari 65% per tahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian akan semakin signifikan.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Bank Menurut Para Ahli dan Undang-Undang di Indonesia


Prinsip Bank Syariah

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Beberapa Prinsip atau hukum yang dianut oleh system perbankan syariah antara lain:

  • Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan
  • Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana
  • Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsic
  • Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi
  • Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan pada Islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah

Schaik (2001) mengemukakan bahwa terdapat tujuh prinsip ekonomi Islam yang menjiwai bank syariah, yaitu:

  1. keadilan, kesamaan dan solidaritas
  2. larangan terhadap objek dan makhluk
  3. pengakuan kekayaan intelektual
  4. harta sebaiknya digunakan dengan rasional dan baik (fair way)
  5. tidak ada pendapatan tanpa usaha dan kewajiban
  6. kondisi umum dari kredit
  7. dualiti risiko

Kondisi umum dari kredit meliputi:

  • peminjam yang mengalami kesulitan keuangan sebaiknya diperlakukan secara baik, diberi tangguh waktu, bahkan akan lebih baik bila diberi keringanan
  • terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai hukum selisih antara kredit dan harga spot, ada yang berpendapat bahwa itu adalah suku bunga implisit dan ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut dibolehkan untuk mengakomodasi biaya transaksi – bukan biaya dari pembiayaan di satu sisi sebagai bagian dari persetujuan kredit(liability)

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : TUGAS MAHKAMAH (MK) KONSTITUSI


Produk Perbankan Syariah

Penghimpun Dana

  • Giro Syariah
    Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek/ bilyet giro, atau dengan cara pemindah bukuan.
  • Tabungan Syariah
    Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek/bilyet giro.
  • Deposito Syariah
    Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah dengan bank.

Penyaluran Dana

1. Akad Mudharabah (bagi hasil)
Transaksi yang penanaman dana dari pemilik modal dengan pengelola untuk melakukan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.

2. Akad Musyarakah (penyertaan modal)
Transaksi penanaman dana dari dua atau lebih pemilik dana atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dnegan pembagian hasil antara kedua belah pihak berdasarkan perjanjian yang telah disepakati, jika pembagian kerugian berdasarkan proporsi modal masing-masing.

3. Akad Murabahah (jual beli)
Transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah margin yang disepakati oleh para pihak, dimana pihak penjual menginformasikan harga perolehan terlebih dahulu kepada pembeli atau konsumen.
Mudharabah berasal dari kata dharb yang artinya memukul atau berjalan. Istilah ini biasa dipakai oleh penduduk Irak, sementara penduduk Hijaz lebih suka menggunakan istilah qirodh atau muqaradhah. Dalam kaitannya dengan muamalah, kata dharb disini lebih tepat diartikan pada proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Sedangkan secara teknis, mudharabah didefinisikan sebagai akad kerja sama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan 100% modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Apabila dalam usahanya diperoleh keuntungan (profit) maka keuntungan tadi kemudian dibagi antara shahibul maal dan mudharib dengan prosentase nisbah atau rasio yang telah disepakati sejak awal perjanjian/kontrak. Sedangkan apabila usaha tersebut merugi maka kerugian tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak shahibul maal sepanjang hal itu disebabkan oleh risiko bisnis (bussiness risk) dan bukan karena kelalaian mudharib (character risk).

Akad mudharabah ini berbeda dengan sistem bunga (interest) mengingat sifat pengembalian (return) yang tidak pasti baik dari segi jumlah maupun segi waktu sehingga akad ini dikategorikan sebagai Natural Uncertainty Contract (NUC). Dalam bahasa lain, produk ini disebut juga dengan Trust Financing atau Trust Investment karena kontrak ini hanya diberikan kepada pengusaha yang benar-benar credible dan sudah teruji amanahnya. Secara skematis, akad mudharabah dapat digambarkan sebagai berikut :

Akad Murabahah (jual beli)

Jenis-Jenis Mudharabah

  • Mudharabah Mutlaqah
    Jenis mudharabah ini merupakan bentuk akad yang tidak dibatasi pada jenis usaha, waktu, dan wilayah tertentu sehingga pengelola bebas untuk menentukan cara ia mengelola modal tersebut.
  • Mudharabah Muqayyadah
    Adalah jenis mudharabah yang pada akadnya dicantumkan persyaratan-persyaratan tertentu misalnya hanya boleh digunakan untuk usaha tertentu, di kota tertentu, dan dalam waktu tertentu. Ikatan-ikatan ini membuat akad mudharabah menjadi terikat dan sempit sehingga disebut mudharabah muqayyadah (restricted mudharabah).

4. Akad Salam
Transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.


5. Akad Istishna
Transaksi jual beli dengan cara pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.

Definisi Menurut Fatwa DSN MUI
Akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni’) dan penjual (pembuat/shani’)

Jenis Akad Istishna :

  • Langsung : Pemesan<->Penjual
    Akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni) dan penjual (pembuat/shani’)
  • Paralel : Pemesan ? Penjual ? subkontraktor
    Akad istishna antara penjual dan pemesan, dimana untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan, penjual melakukan akad istishna’ dengan pihak lain (subkontraktor) yang dapat memenuhi aset yang dipesan oleh pemesan. Syarat : tidak terjadi ta’alluq.

Rukun Akad Istishna

  • Pelaku terdiri atas pemesan (pembeli/mustashni’) dan penjual (pembuat/shani’)
  • Objek akad berupa barang yang akan diserahkan dan modal istishna’ yang berbentuk harga.
  • Ijab kabul/serah terima

6. Akad Ijarah (sewa)
Transaksi sewa menyewa atas suatu barang atau jasa, antara pemilik dan pemakaian sewa dengan hak pakai untuk mendapatkan imbalan atas obyek yang disewakan. Transaksi terhadap suatu manfa’at tertentu, bersifat mubah dan dapat dimanfa’atkan dengan imbalan tertentu . Ijarah ditunjukkan untuk manfa’at atau jasa bukan materi/benda, dapat berupa manfaat/nilai  Ijarah “Jasa” (Ijarah ‘ala al ‘amal) bukan merupakan kewajiban (fardhu ‘ain) seperti shalat, puasa. Tetapi bersifat fardu kifayah

Ijarah memiliki beberapa ketentuan:

  • Kedua belah pihak memenuhi syarat hukum
  • Kedua belah pihak menyatakan kerelaannya untuk melakukan ijarah dan tidak terpaksa
  • Manfaat objek diketahui secara jelas
  • Penyewa berhak atas manfat baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain baik dengan cara menyewakannya atau meminjamkan
  • Objek Ijarah dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung
  • Objek Ijarah adalah halal

Akad Ijarah Berakhir

  • Objek hilang/lenyap : terbakar, faktor alam
  • Habis masa waktunya
  • Salah satu pihak yang wafat dapat dialihkan pada ahli warisnya
  • Objek disita, pailit

7. Akad Qaradh
Transaksi pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.


Pelayanan Jasa

  1. Letter of credit (L/C) impor syariah
    L/C adalah surat pernyataan akan membayar eksportir yang diterbitkan oleh bank atas permintaanm importer dengan pemenuhan persyaratan tertentu.
  2. Bank Garansi Syariah
    Jaminan yang diberikan oleh bank kepada pihak ketiga penerima jaminan atas pemenuhan kewajiban tertentu nasabah bank selaku pihak yang dijamin kepada pihak ketiga dimaksud.
  3. Penukaran Valuta Asing (sharf)
    Transaksi penukaran mata uang yang berlain jenis, baik membeli atau mejual kepada nasabah.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian dan Penyebab Terjadinya Inflasi


Bank Syariah di Indonesia

Menurut pendapat Mudrajad dan Suharjono (2002) mengatakan bahwa, deregulasi financial yang sedang berlangsung di Indonesia pada saat ini sejalan dengan deregulasi financial yang juga terjadi di Negara-negara Asia. Persamaannya terlihat dari tiga dimensi deregulasi yang terpisah, tetapi berkaitan erat, yaitu: deregulasi harga (terutama perubahan suku bunga), deregulasi produk (ragam jasa yang ditawarkan), dan deregulasi spasial (kelonggaran pembukaan cabang atau hambatan memasuki pasar). Kemudian lebih lanjut bahwa tinjauan deregulasi selama sepuluh tahun terakhir menunjukan bahwa deregulasi lebih sedikit banyak mengubah “wajah” sector keuangan Indonesia. Saat ini Indonesia telah keluar dari represi financial, setidaknya kadarnya telah berkurang dibandingkan masa sebelumnya. Deregulasi financial sebagai gantinya dan mengakibatkan fenomena baru yang mengakibatkan iklim persaingan perbankan syariah di Indonesia semakin hangat.

Dapat diakui atau tidak, deregulasi financial di Indonesia telah memberikan iklim bagi tumbuh dan kembangnya bank syariah di Indonesia. Pada tahun 1991 telah berdiri dua bank syariah, yaitu: BPR Syariah dana Mardhotilah dan BPR Syariah Berkah Amal Sejahter, kedua BPRS tersebut berada di Bandung. Tahun 1992 diundangkannya UU Perbankan Nomor 7 tahun 1992, yang berisi tentang bank bagi hasil. Pada saat itu pula berdiri bank Muamalat Indonesia. Selanjutnya diikuti oleh BPR Syariah Bangun Drajad Warga dan BPR Syariah Margi Rizki Bahagia, keduanya berada di Yogyakarta.

Selanjutnya, untuk melakukan revisi UU No. 7 tahun 1992 menjadi UU No. 10 tahun 1998 memiliki hikmah tersendiri bagi dunia perbankan nasional di mana pemerintah mengadakan kegiatan usaha perbankan dengan berdasarkan pada prinsip syariah. Setelah UU No. 10 tahun 1998 di Indonesia telah berdiri, satu Bank Umum Syariah (Bank Muamalat Indonesia) ditambah dengan 80 BPR Syariah. Apabila dilihat dari makro ekonomi, pengembangan bank syariah di Indonesia memiliki peluang besar karena peluang pasarnya yang luas sejurus dengan mayoritas penduduk Indonesia.

Dengan adanya UU No. 10 tahun 1998 dapat membawa kesegaran bagi dunia perbankan syariah di tanah air, berdirinya bank-bank baru yang bekerja berdasarkan prinsip syariah akan menambah semarak lembaga keuangan syariah yang ada, seperti: Bank Umum Syariah, BPR Syariah dan Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Kegiatan oprasional bank syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1992 melalui PT bank Muamalat Indonesia Tbk. (PT BMI). Oprasional perbankan syariah di Indonesia didasarkan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan kemudian diperbarui menjadi UU No. 10 tahun 1998. Pertimbangan UU tersebut dilakukan untuk mengantisipasi tantangan sistem keuangan yang semakain maju dan kompleks dan juga mempersiapkan infrasetruktur memasuki era globalisasi. Maka, adopsi perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional bukanlah semata-mata mengakomodasi kepentingan penduduk Indonesia yang sebagian besar muslim.

Skema produk perbankan syariah secara alami merujuk pada dua kategori ekonomi, yakni produksi serta distribusi. Kategori pertama difasilitasi melalui skema profit sharing (mudharabah) dan partnership (musyarakah), sedangkan kegiatan distribusi manfaat hasi-hasil produk dilakukan melalui skema jual-beli (murabahah) dan sewa menyewa (ijarah). Berdasarkan sifat tersebut maka kegiatan lembaga keuangan syariah dapat dikategorikan sebagai investment banking dan merchant/ commercial banking.

Dari kegiatan investasi yang dapat dikembangkan bank syariah adalah: menumbuhkan kegiatan produksi masal berskala kecil dan menengah khususnya di sector agro industry melalui skema pembiayaan lunak seperti kemitraan (mudharabah dan musyarkah). Dengan adanya bank syariah diharapkan dapat:

  1. Mendukung strategi perkembangan ekonomi regional,
  2. Memfasilitasi segmen pasar yang tidak terjangkau atau tidak berminat dengan bank konvensional,
  3. Memfasilitasi distribusi utilitas barang modal untuk kegiatan produksi melalui skema sewa menyewa.

Sedangkan dalam kegiatan komersial, perbankan syariah dapat mengambil posisi dalam kegiatan seperti hal-hal berikut:

  1. Mendukung penyediaan faktor-faktor produksi,
  2. Mendukung perdagangan antar daerah bahkan sampai ekspor,
  3. Mendukung penjualan hasil-hasil produk untuk masyarakat.

Beberapa kendala dalam mengembangkan perbankan syariah, yaitu:

  • Peraturan perkbankan yang berlauku belum sepenuhnya mengakomodasi operasional bank syariah,
  • Pemahaman masyarakat yang belum tepat terhadap kegiatan operasional bank syariah,
  • Frekuensi sosialisasi belum dilakukan secara optimal,
  • Jaringan kantor bank syariah yang masih terbatas,
  • Sumber daya manusia yang memiliki keahlian mengenai bank syariah masih terbatas,
  • Persaingan produk perbankan konvensional yang ketat dan jor-joran sehingga mempersulit bank syariah segmen pasar.

Strategi pengembangan perbankan syariah diarahkan agar meningkatkan kompetensi usaha yang sejajar dengan sistem perbankan konvensional dan dilakukan secara komperhensif serta mengacu pada analisis kekuatan dan kelemahan perbankan syariah. Dalam hal ini, upaya pemerintah untuk merealisasikan hal tersebut ditempuh melalui empat langkah yaitu:

  1. Penyempurnaan ketentuan,
  2. Pengembangan jaringan bank syariah,
  3. Pengembangan piranti moneter, dan
  4. Pelaksanaan kegiatan sosialisasi perbankan syariah.